DI BUKIT PERADUAN
Sore itu surya pelan perlahan ke keperaduan
Tak siapa pun menghentikan kepastian
Tidak juga kau
Tidak sekali bahkan
Pinta itu
memang tidak sekali
Begitu juga lewat tangis sendu parau
Seluruh dari sekian yang engkau punya
luruh
Bukan Cuma tangis, bahkan
Menggeliat sangat berderang tapi tak
sampai menyilaukan
Kenangkan
: Kenangmu di secangkir srikaya putih
yang mengurat
Di urat yang berdenyar di lapar kasih
sayang
Di rindumu yang enggan pulang
Dan berdebar
Engkau terus kemana? Bukan.
KENANGKAN REMBULAN DI MATAKU
Rembulan itu telah mengakhirinya dalam
gemerlap
Tidak sedikit pancaran sinarnya yang
tertata rapi di benak kalian
Begitu juga kidung-kidung anak kecil
membiar menggugah kesedihan
Memang tidak ada secangkir teh kali itu
Tetapi semua mengakhiri kicauan tolol
Jangan kejam!
Dengan sentakan itu rinduku bertambah
pilu
Benar benam pejam lirih bola mata
mengintip
Tunggu kataku sekali
: tempaian dedaunan yang luruh itu bukan
karena lampau usia
Bukan pula derita kurun yang terulang
Justru rindu pada air putih pada gelas
putih
Rinduku ingin mencabik hingga tingkap
jantung itu kencang berdebar
Namun
Belum juga rindunya menghardik luruh
Di bukit yang sekali aku datang
Dengan kenang peluh rindu sejarah
mendatang.
LARUT
DI BUKIT
Benar-benar enggan melepas sore yang
tersisa
Begitu erat tangan memegang sisa waktu
Meski hanya seditik dua detik
: Riangmu sesekali bersetubuh dengan bimbang
Candamu sepelaminan dengan keraguan
bukan
Tidak rela tekuk lutut kencang berdiri
Apalagi mengiklaskan sore itu pergi
sendiri
Bahkan tergeletak sendiri dalam ragu
Tidak mungkin
Sebab : sedetik jam pernah bersaksi
meski kadang terbatuk-batuk lesu
Ditepian jalan
Di tikungan larik-larik baris pepohonan karet
Atau gubuk Yang terimpikan
Belum juga mengiakan luruh dalam
kepercayaan
Dalam isak yang merindui
KELAMBU SENJA DI TEPIAN BUKIT
Hampir segalanya Nampak menguning
Dari sejumlah wajah-wajah yang
bersetubuh ragu
Ada sedikit rasa nyeri dari sekujur
tubuh
Di tepi senja yang meliukan kenang
Nampak ada siasia yang menggupal
Dalam darah
Dari ubunubun yang mengisyaratkan
lambaian duka terkulai
Ada sisa untuk sebuah nama dari sekian
yang ada
Mengantarkan senja di tepian bukit
Menyempurnakan sisa usia dalam senja
TIDURLAH JELITAKU
Sepasang mata jelitaku
Suntuk kirana meluangkan waktu dalam
ranjang
Sungguhsungguh dalam larikan kilat
matamu
Lengkap menuangkan goresan sejarah
dengan air mata
Lelah tiba-tiba terbata-bata
Tertelungkup pada pembaringan lama
: siapa yang masih beranjak bersamamu
Melantunkan kidung rumekso ing wengi
Atau siapa yang masih pingin menyingkap
rambut lusumu dalam pembaringan
Yang barangkali semuanya nampak serba
dekat
Menjelma
sukma menyatu dalam pejam
Di pembaringan
Selamat malam
Tidurlah jelitaku meski hanya sesaat
MIMPILAH JELITAKU
Tak pernah sesudah ini kau mimpikan
Dalam sunyi kiranya menenggelamkan sepi
Sekian dari pori-pori tak lagi meliang
Untuk napas sisa hingar siang tadi
Oh jelita malamku
Luangkan sesaat dari sekian yang engkau
kenang
Meski selama siang kau bersitegang
Bahkan engkau hanya saling pandang
Sesudahnya kembali raga jiwa dalam sunyi
Sendiri, maka jangan kawini ragu
Sebab malam lalu telah berlalu
Sesudahnya ini
milikmu dan bermimpilah jelitaku
JELITA DALAM TEMARAM
Tak pernah sebelumnya
Goresan sinar temaram menyingkap sekian
wajah
Hamper segalanya nampak terlihat seluruh
Tidak pula sederetan nama dalam kenang
Satu dari dua nama perlahan keluar dari ubun dengan ragu
: habis kikis yang aku punya
Engkau memanggil-manggil
Sungguh meninggalkanku seluruh
menggigil galau kembali mengusik
ragu
JELITA DALAM KENANG
Hanya sekali beranjak kaki dari kenang
Melengkapkan nama dalam jiwa
Di tepian
PERCAKAPAN
SEBagai
Adam, kupetikkan untukmu
Sekuncup
tangkai mawar dari taman firdaus
Lantaran
dikilatan mata mu itu
Ku lihat
pantulan takdir
“”””” adakah
kau bagian dari daftar rahasia itu?
Seperti juga
Kakikata
masa depan
Panjang
pendek usia
Tak penting
lagi?
Apakah kau
akan masih memilih
Atau Kau
Yang
terpaksa memilih Aku!
Sebab
kliklak waktu sudah terlanjur memotret
Prasasti di
belahan gunung itu
Tak perlu
menunggu meski engkau dikawini ragu
Andai saja
???
Ya andai
saja engkau tersedia obsi untuk memutar balik jarum jam itu
Sudah
terlalu tercabar lebih dini
Gerakan
magma gunung yang terlanjur menggumpal
Dan tidak
sekali timbul gempa keraguanlagi
Lindap malam
tinggal berapa depa
Gelap
sebentar lagi lesap oleh cakrawala
Mari
kududukkan di teras pangkuan
Menjaga
Keraguan
pergi
Percakapan 3
Sebagai
Sintaku
Kan
ku ambilkan setetes putihnya senyum jernih air Ganggga
Sebab
diubun air itu akan kau tuangkan sekian dari rahasia
Bukan
sekadar cerita pelipur lara
Sinta
ku
Seandainya
air jernih itu tidak lagi setetes
Akan
kau tuangkan semangkuk harapan
Bukan
Cuma cerita sejarah ketika jiwa dipaksa mencintai disaat luka
Air
gangga memang tidak setetes duatiga tetes
Bergelunjuran
deras dalam alur yang menjadi takdir
menghanyutkan
sekian dari yang engkau jadikan sejarah
hari
ini atau lusa milik kita
percakapan 4
rinduku
bukan sekali ini
seperti
rindu bocahbocah pada putting ibunya
menangis
enggan dilepas
rinduku
rindumu
rindukita
enggan lepas
apalagi
mati
seperti
lentera pada ruangan tanpa terpaan angin
rindu
ini
rindu
bocah pada mainan yang habis ia beli
tak
mengenal kapan tidak ia pakai
rindu
waktu di kilatan jagat
tak dikubur meski henti
kapan?
Sekarang
dan lusa
Semua
jadi kepastian
Bayangan
Sekali ini
datang
Tidak sendiri
sebab harus
hadir bersama cahaya
kapan ?
mulai detik
ini
sendiri
tak sekuat
binatang jalang
terjang
mengaitkan kaki pada tujuan
melaju biru
menerjang rintang
pada
gurungurun yang belum pernah tersinggah
semua
terdiam
hanya tepuk
riuh sekian mata yang berprasangka
tidak lagi
menyapa
engkau dengan siapa ?
Peraduan
Semilir
angin malam melengkapi sisa waktu
Hanya
sedetik itu yang masih ku punya
Selebihnya
hanya lewat
Satu persatu
pergi, entah
Tidak pula layang-layang, yang terbang
Pada awang
awang
Naik turun pada jarak cakrawala
Melambaikan
apa yang ia punya
Berputar-putar
di pusara mata angin
Sepintas tanpa batas
tetap
henti di peraduan
pada sisa gulungan, Entah kapan?
MALAM
Semuanya telah berbaris siaga
Pelan perlahan menatap yang masih
terlihat
Masih ada juga
Anak pinak yang bermain menunggu sisa waktu
Pada sudut ruang yang ia punya
Gelisah
Sebab sebentar lagi tak lagi ada
Hanya sisa pengharapan
Kapan ia dapat terbangun dari malam ?
Kecuali pada tidur kematian
Kaki langit
Cakrawalamu disini
Semua telah
berjalan pada orbitnya
Kecuali
matahari
Perkasa
dalam segala