Selasa, 26 Maret 2013

GENERASI PELESTARI BUDAYA JAWA....dalam lomba Seni Jawa

Inilah muridku...VINA AMELIA..siswa kelas 5 SDN 2 Singorojo telah mampu membawakan geguritan yang berjudul ELING karangan Inten Rahmasari ke Juara 2 tingkat Kecamatan Singorojo pada hari Selasa ,19 Maret 2013.Sedangkan peserta putra Danang....juga meraih juara 4.
'Selamat...ya anakku.....atas prestasimu...kalian telah membuat kami bangga....

Selasa, 05 Maret 2013


ELING 
Karipta dening:inten rahmasari
(puluh-puluh wis bejane.....Awak ingsun..kudu pisah yayah wibi.....~~~)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~......................
Lingsir wengi iki.....
Atiku sumedhot rasane
Yen eling rikala jaman semana
Bapa biyungku wis ora ana maneh ning sandhingku
Aku eling marang lelabuhane
Aku eling marang katresnane
Nanging saiki???
Kabeh sirna...
Nanging aku tansah /dedonga
Mugya gusti paring pangapura
Marang...bapa biyungku
                                                                                                                          dadapan,6 maret 2013

Sabtu, 02 Maret 2013

inilah kami
generasi baru
yang akan terus...mempertahankan kedaulatan negara
apa yang kami bisa lakukan?
semua ..kami pasti bisa...
demi tegaknya negara tercinta
inilah kami
yang akan tetap menjaga sang merah putih
tetap berkibar dengan perkasa...di udara..selamanya










Sabtu, 15 Desember 2012

POLISI SAHABAT ANAK









Dalam rangka mengisi kesenjangan waktu disaat dewan guru sibuk merampungkan buku laporan pendidikan ,para murid asyik bermain dan belajar  tentang tertib berlalu lintas bersama  para Polisi dari DITLANTAS POLDA Jateng.
Hari itu....Kamis tanggal 13 Desember 2012 SD 2 Singorojo tiba tiba menjadi riuh gempita dengan hadirnya serombongan polisi dengan mengendarai mobil patroli ditlantas dan Polsek Singorojo yang beriringan,dalam rangka program POLSANAK(Polisi Sahabat Anak)
Anak-anak dan dewan guru menyambut mereka penuh kegembiraan dan ceria.Lagu disini senang disana senang melantun saat rombongan memasuki halaman sekolah.Senyum manis yang bersahabat tersungging di wajah para polisi itu.Bukan wajah seram menakutkan seperti apa yang dibayangkan para siswa sebelumnya.
Ada yang menarik dari rombongan itu,yaitu ada dua Polwan yang cantik cantik menyapa para siswa.
Ketika memasuki ruangan yang telah disediakan..kami menyambut dengan ucapan selamat datang.Usai break sebentar sekedar minum air putih,tim segera memasuki ruangan kegiatan.Banyak sekali materi yang diberikan,seperti rambu lalu lintas,tatatertib lalu lintas dengan memakai  peraga yang menarik perhatian siswa.Dengan duduk dilantai,para siswa sangat menikmati sekali kegiatan yang sedang berlangsung.Kadang terdengar derai tawa mereka dari ruang kantor guru,barangkali para Polisi sangat pandai melucu agar siswa tidak bosan.
Terima kasih Polisi....kami tidak akan melupakan jasa baikmu.....
Terima kasih Polisi...semoga kami dapat tertib berlalu lintas 
Selamat bekerja...semoga Allah menyertai perjuanganmu dalam mendidik anak anak bangsa untuk selalu mematuhi tata tertibberlalu lintas...

Minggu, 09 Desember 2012

SEJARAH HARI IBU


Hari Ibu…
Assalamualaikum Wr Wb..
Ketika mendengar Hari Ibu, apa yang ada di benak kita? Ya, pasti yang langsung dingat adalah tanggalnya. 22 Desember, ditetapkan sebagai Hari Ibu di Indonesia.

Sejarah Hari Ibu di Indonesia

Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Konggres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto. Dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Organisasi perempuan sendiri sudah ada sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien,Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain.
Peristiwa itu dianggap sebagai salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah se-Nusantara berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah persatuan perempuan Nusantara; pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan; pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; perdagangan anak-anak dan kaum perempuan; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya. Tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan jender, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa.
Penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Peringatan 25 tahun Hari Ibu pada tahun 1953 dirayakan meriah di tak kurang dari 85 kota Indonesia, mulai dari Meulaboh sampai Ternate.
Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini.

Senin, 16 Juli 2012

PUISI


DI  BUKIT PERADUAN

Sore itu surya pelan perlahan ke  keperaduan
Tak siapa pun  menghentikan kepastian
Tidak juga kau
                  
Tidak sekali bahkan
Pinta itu
memang tidak sekali

Begitu juga lewat tangis sendu parau
Seluruh dari sekian yang engkau punya luruh
Bukan Cuma tangis, bahkan
Menggeliat sangat berderang tapi tak sampai menyilaukan

Kenangkan
: Kenangmu di secangkir srikaya putih yang mengurat
Di urat yang berdenyar di lapar kasih sayang

Di rindumu yang enggan pulang
Dan berdebar
Engkau terus kemana? Bukan.

 
KENANGKAN REMBULAN DI MATAKU

Rembulan itu telah mengakhirinya dalam gemerlap
Tidak sedikit pancaran sinarnya yang tertata rapi di benak kalian
Begitu juga kidung-kidung anak kecil membiar menggugah kesedihan
Memang tidak ada secangkir teh kali  itu
Tetapi semua mengakhiri kicauan tolol

Jangan kejam!
Dengan sentakan itu rinduku bertambah pilu
Benar benam pejam lirih bola mata mengintip

Tunggu kataku sekali
: tempaian dedaunan yang luruh itu bukan karena lampau usia
Bukan pula derita kurun yang terulang
Justru rindu pada air putih pada gelas putih

Rinduku ingin mencabik hingga tingkap jantung itu kencang berdebar
Namun
Belum juga rindunya menghardik  luruh
Di bukit yang sekali aku datang
Dengan kenang peluh rindu sejarah mendatang.



 LARUT DI BUKIT

Benar-benar enggan melepas sore yang tersisa
Begitu erat  tangan memegang sisa waktu
Meski hanya seditik dua detik
: Riangmu sesekali bersetubuh  dengan bimbang 
Candamu sepelaminan dengan keraguan bukan

Tidak rela tekuk lutut kencang berdiri
Apalagi mengiklaskan sore itu pergi sendiri
Bahkan tergeletak sendiri dalam ragu

Tidak mungkin
Sebab : sedetik jam pernah bersaksi meski kadang terbatuk-batuk lesu
Ditepian jalan
Di tikungan larik-larik baris pepohonan karet
Atau gubuk Yang terimpikan

Belum juga mengiakan luruh dalam kepercayaan
Dalam isak yang merindui


KELAMBU SENJA DI TEPIAN BUKIT

Hampir segalanya Nampak menguning
Dari sejumlah wajah-wajah yang bersetubuh ragu
Ada sedikit rasa nyeri dari sekujur tubuh
Di tepi senja yang meliukan  kenang

Nampak ada siasia yang menggupal 
Dalam darah
Dari ubunubun yang mengisyaratkan lambaian duka terkulai
Ada sisa untuk sebuah nama dari sekian yang ada
Mengantarkan senja di tepian bukit
Menyempurnakan sisa usia dalam senja


TIDURLAH JELITAKU

Sepasang mata jelitaku
Suntuk kirana meluangkan waktu dalam ranjang
Sungguhsungguh dalam larikan kilat matamu
Lengkap menuangkan goresan sejarah dengan air mata

Lelah tiba-tiba terbata-bata
Tertelungkup pada pembaringan lama
: siapa yang masih beranjak bersamamu
Melantunkan kidung rumekso ing wengi

Atau siapa yang masih pingin menyingkap rambut lusumu dalam pembaringan
Yang barangkali semuanya nampak serba dekat
Menjelma  sukma menyatu dalam pejam
Di pembaringan

Selamat malam
Tidurlah jelitaku meski hanya sesaat

 

MIMPILAH JELITAKU

Tak pernah sesudah ini kau mimpikan
Dalam sunyi kiranya menenggelamkan sepi
Sekian dari pori-pori tak lagi meliang
Untuk napas sisa hingar siang tadi

Oh jelita malamku
Luangkan sesaat dari sekian yang engkau kenang
Meski selama siang kau bersitegang
Bahkan engkau hanya saling pandang

Sesudahnya kembali raga jiwa dalam sunyi
Sendiri, maka jangan kawini ragu
Sebab malam lalu telah berlalu
Sesudahnya   ini  milikmu dan  bermimpilah jelitaku

JELITA DALAM TEMARAM

Tak pernah sebelumnya
Goresan sinar temaram menyingkap sekian wajah
Hamper segalanya  nampak terlihat seluruh
Tidak pula sederetan nama dalam kenang

Satu dari dua nama perlahan keluar dari  ubun dengan ragu
: habis kikis yang aku punya 

Engkau memanggil-manggil
Sungguh meninggalkanku seluruh
menggigil galau kembali mengusik ragu  






JELITA DALAM KENANG

Hanya sekali beranjak kaki dari kenang
Melengkapkan nama dalam jiwa
Di tepian 


 
PERCAKAPAN

SEBagai Adam, kupetikkan  untukmu
Sekuncup tangkai mawar  dari taman firdaus
Lantaran dikilatan mata mu itu
Ku lihat pantulan takdir
“”””” adakah kau bagian dari daftar rahasia itu?
Seperti juga
Kakikata masa depan
Panjang pendek usia

Tak penting lagi?
Apakah kau akan masih memilih
Atau Kau
Yang terpaksa memilih Aku!
Sebab kliklak waktu sudah terlanjur memotret
Prasasti di belahan gunung itu

Tak perlu menunggu meski engkau dikawini ragu
Andai saja ???
Ya andai saja engkau tersedia obsi untuk memutar balik jarum jam itu
Sudah terlalu tercabar lebih dini
Gerakan magma gunung yang terlanjur menggumpal
Dan tidak sekali timbul gempa keraguanlagi
Lindap malam tinggal berapa depa
Gelap sebentar  lagi lesap oleh cakrawala
Mari kududukkan di teras pangkuan
Menjaga
Keraguan pergi


Percakapan  3
Sebagai  Sintaku
Kan ku ambilkan setetes putihnya senyum jernih air Ganggga
Sebab diubun air itu akan kau tuangkan sekian dari rahasia
Bukan  sekadar  cerita pelipur lara

Sinta ku
Seandainya air jernih itu tidak lagi setetes
Akan kau tuangkan semangkuk harapan
Bukan Cuma cerita sejarah ketika jiwa dipaksa mencintai disaat luka

Air gangga memang tidak setetes duatiga tetes
Bergelunjuran  deras  dalam alur yang menjadi takdir
menghanyutkan sekian dari yang engkau jadikan sejarah
hari ini atau lusa milik kita




percakapan 4



rinduku bukan sekali ini
seperti rindu bocahbocah pada putting ibunya
menangis enggan dilepas

rinduku
rindumu
rindukita enggan lepas
apalagi mati
seperti lentera pada ruangan tanpa terpaan angin

rindu ini
rindu bocah pada mainan yang habis ia beli
tak mengenal kapan tidak ia pakai

rindu waktu di kilatan jagat
tak  dikubur meski henti
kapan?
Sekarang dan lusa
Semua jadi kepastian






Bayangan


Sekali ini datang    
Tidak sendiri
sebab harus hadir bersama cahaya

kapan ?
mulai detik ini

sendiri


tak sekuat binatang jalang
terjang mengaitkan kaki pada tujuan

melaju biru menerjang rintang
pada gurungurun yang belum pernah tersinggah

semua terdiam
hanya tepuk riuh sekian mata yang berprasangka

tidak lagi menyapa
 engkau dengan siapa ?


 
Peraduan

Semilir angin malam melengkapi sisa waktu
Hanya sedetik itu yang masih ku punya
Selebihnya hanya lewat

Satu persatu pergi,  entah
Tidak pula  layang-layang,  yang terbang
Pada awang awang  

Naik turun  pada jarak cakrawala
Melambaikan apa yang ia punya
Berputar-putar di pusara  mata angin

Sepintas  tanpa batas
 tetap  henti di peraduan
pada  sisa gulungan, Entah kapan?

MALAM

Semuanya telah berbaris siaga
Pelan perlahan menatap yang masih terlihat

Masih ada juga
Anak pinak yang bermain  menunggu sisa waktu
Pada sudut ruang yang ia punya

Gelisah
Sebab sebentar lagi tak lagi ada
Hanya sisa pengharapan
Kapan ia dapat terbangun dari malam ?

Kecuali pada tidur kematian



Kaki langit



Cakrawalamu  disini
Semua telah berjalan pada orbitnya
Kecuali matahari
Perkasa dalam segala