Senin, 16 Juli 2012

PUISI


DI  BUKIT PERADUAN

Sore itu surya pelan perlahan ke  keperaduan
Tak siapa pun  menghentikan kepastian
Tidak juga kau
                  
Tidak sekali bahkan
Pinta itu
memang tidak sekali

Begitu juga lewat tangis sendu parau
Seluruh dari sekian yang engkau punya luruh
Bukan Cuma tangis, bahkan
Menggeliat sangat berderang tapi tak sampai menyilaukan

Kenangkan
: Kenangmu di secangkir srikaya putih yang mengurat
Di urat yang berdenyar di lapar kasih sayang

Di rindumu yang enggan pulang
Dan berdebar
Engkau terus kemana? Bukan.

 
KENANGKAN REMBULAN DI MATAKU

Rembulan itu telah mengakhirinya dalam gemerlap
Tidak sedikit pancaran sinarnya yang tertata rapi di benak kalian
Begitu juga kidung-kidung anak kecil membiar menggugah kesedihan
Memang tidak ada secangkir teh kali  itu
Tetapi semua mengakhiri kicauan tolol

Jangan kejam!
Dengan sentakan itu rinduku bertambah pilu
Benar benam pejam lirih bola mata mengintip

Tunggu kataku sekali
: tempaian dedaunan yang luruh itu bukan karena lampau usia
Bukan pula derita kurun yang terulang
Justru rindu pada air putih pada gelas putih

Rinduku ingin mencabik hingga tingkap jantung itu kencang berdebar
Namun
Belum juga rindunya menghardik  luruh
Di bukit yang sekali aku datang
Dengan kenang peluh rindu sejarah mendatang.



 LARUT DI BUKIT

Benar-benar enggan melepas sore yang tersisa
Begitu erat  tangan memegang sisa waktu
Meski hanya seditik dua detik
: Riangmu sesekali bersetubuh  dengan bimbang 
Candamu sepelaminan dengan keraguan bukan

Tidak rela tekuk lutut kencang berdiri
Apalagi mengiklaskan sore itu pergi sendiri
Bahkan tergeletak sendiri dalam ragu

Tidak mungkin
Sebab : sedetik jam pernah bersaksi meski kadang terbatuk-batuk lesu
Ditepian jalan
Di tikungan larik-larik baris pepohonan karet
Atau gubuk Yang terimpikan

Belum juga mengiakan luruh dalam kepercayaan
Dalam isak yang merindui


KELAMBU SENJA DI TEPIAN BUKIT

Hampir segalanya Nampak menguning
Dari sejumlah wajah-wajah yang bersetubuh ragu
Ada sedikit rasa nyeri dari sekujur tubuh
Di tepi senja yang meliukan  kenang

Nampak ada siasia yang menggupal 
Dalam darah
Dari ubunubun yang mengisyaratkan lambaian duka terkulai
Ada sisa untuk sebuah nama dari sekian yang ada
Mengantarkan senja di tepian bukit
Menyempurnakan sisa usia dalam senja


TIDURLAH JELITAKU

Sepasang mata jelitaku
Suntuk kirana meluangkan waktu dalam ranjang
Sungguhsungguh dalam larikan kilat matamu
Lengkap menuangkan goresan sejarah dengan air mata

Lelah tiba-tiba terbata-bata
Tertelungkup pada pembaringan lama
: siapa yang masih beranjak bersamamu
Melantunkan kidung rumekso ing wengi

Atau siapa yang masih pingin menyingkap rambut lusumu dalam pembaringan
Yang barangkali semuanya nampak serba dekat
Menjelma  sukma menyatu dalam pejam
Di pembaringan

Selamat malam
Tidurlah jelitaku meski hanya sesaat

 

MIMPILAH JELITAKU

Tak pernah sesudah ini kau mimpikan
Dalam sunyi kiranya menenggelamkan sepi
Sekian dari pori-pori tak lagi meliang
Untuk napas sisa hingar siang tadi

Oh jelita malamku
Luangkan sesaat dari sekian yang engkau kenang
Meski selama siang kau bersitegang
Bahkan engkau hanya saling pandang

Sesudahnya kembali raga jiwa dalam sunyi
Sendiri, maka jangan kawini ragu
Sebab malam lalu telah berlalu
Sesudahnya   ini  milikmu dan  bermimpilah jelitaku

JELITA DALAM TEMARAM

Tak pernah sebelumnya
Goresan sinar temaram menyingkap sekian wajah
Hamper segalanya  nampak terlihat seluruh
Tidak pula sederetan nama dalam kenang

Satu dari dua nama perlahan keluar dari  ubun dengan ragu
: habis kikis yang aku punya 

Engkau memanggil-manggil
Sungguh meninggalkanku seluruh
menggigil galau kembali mengusik ragu  






JELITA DALAM KENANG

Hanya sekali beranjak kaki dari kenang
Melengkapkan nama dalam jiwa
Di tepian 


 
PERCAKAPAN

SEBagai Adam, kupetikkan  untukmu
Sekuncup tangkai mawar  dari taman firdaus
Lantaran dikilatan mata mu itu
Ku lihat pantulan takdir
“”””” adakah kau bagian dari daftar rahasia itu?
Seperti juga
Kakikata masa depan
Panjang pendek usia

Tak penting lagi?
Apakah kau akan masih memilih
Atau Kau
Yang terpaksa memilih Aku!
Sebab kliklak waktu sudah terlanjur memotret
Prasasti di belahan gunung itu

Tak perlu menunggu meski engkau dikawini ragu
Andai saja ???
Ya andai saja engkau tersedia obsi untuk memutar balik jarum jam itu
Sudah terlalu tercabar lebih dini
Gerakan magma gunung yang terlanjur menggumpal
Dan tidak sekali timbul gempa keraguanlagi
Lindap malam tinggal berapa depa
Gelap sebentar  lagi lesap oleh cakrawala
Mari kududukkan di teras pangkuan
Menjaga
Keraguan pergi


Percakapan  3
Sebagai  Sintaku
Kan ku ambilkan setetes putihnya senyum jernih air Ganggga
Sebab diubun air itu akan kau tuangkan sekian dari rahasia
Bukan  sekadar  cerita pelipur lara

Sinta ku
Seandainya air jernih itu tidak lagi setetes
Akan kau tuangkan semangkuk harapan
Bukan Cuma cerita sejarah ketika jiwa dipaksa mencintai disaat luka

Air gangga memang tidak setetes duatiga tetes
Bergelunjuran  deras  dalam alur yang menjadi takdir
menghanyutkan sekian dari yang engkau jadikan sejarah
hari ini atau lusa milik kita




percakapan 4



rinduku bukan sekali ini
seperti rindu bocahbocah pada putting ibunya
menangis enggan dilepas

rinduku
rindumu
rindukita enggan lepas
apalagi mati
seperti lentera pada ruangan tanpa terpaan angin

rindu ini
rindu bocah pada mainan yang habis ia beli
tak mengenal kapan tidak ia pakai

rindu waktu di kilatan jagat
tak  dikubur meski henti
kapan?
Sekarang dan lusa
Semua jadi kepastian






Bayangan


Sekali ini datang    
Tidak sendiri
sebab harus hadir bersama cahaya

kapan ?
mulai detik ini

sendiri


tak sekuat binatang jalang
terjang mengaitkan kaki pada tujuan

melaju biru menerjang rintang
pada gurungurun yang belum pernah tersinggah

semua terdiam
hanya tepuk riuh sekian mata yang berprasangka

tidak lagi menyapa
 engkau dengan siapa ?


 
Peraduan

Semilir angin malam melengkapi sisa waktu
Hanya sedetik itu yang masih ku punya
Selebihnya hanya lewat

Satu persatu pergi,  entah
Tidak pula  layang-layang,  yang terbang
Pada awang awang  

Naik turun  pada jarak cakrawala
Melambaikan apa yang ia punya
Berputar-putar di pusara  mata angin

Sepintas  tanpa batas
 tetap  henti di peraduan
pada  sisa gulungan, Entah kapan?

MALAM

Semuanya telah berbaris siaga
Pelan perlahan menatap yang masih terlihat

Masih ada juga
Anak pinak yang bermain  menunggu sisa waktu
Pada sudut ruang yang ia punya

Gelisah
Sebab sebentar lagi tak lagi ada
Hanya sisa pengharapan
Kapan ia dapat terbangun dari malam ?

Kecuali pada tidur kematian



Kaki langit



Cakrawalamu  disini
Semua telah berjalan pada orbitnya
Kecuali matahari
Perkasa dalam segala



Tidak ada komentar:

Posting Komentar