PEREMPUAN DI NISTA SIAPA YANG BELA?
Ya, perempuan, (istri) memiliki kedudukan secara harfiah lebih rendah dibanding laki-laki. Kekuasaan perempuan berbatasan dengan benturan-benturan dari pemaknaan yang masih selingkup tafsir harfiah. Perempuan tidak lagi subyek , melainkan obyek dari berbagai peluang. Pemimpin adalah laki-laki.
Tidak juga keluarga, perdebatan dalam kancah politikpun kadang mengesampingkan kecerdasan perempuan. Semisal, isu yang dibangun oleh lawan politik_ yang diketuai oleh perempuan Megawati_ membatasi gerak perempuan untuk maju ke tahta kepresidenan. Terang dan gamblang bahwa imam itu harus lelaki, tidak perempuan.
Terlepas dari benar atau salah dari pemaknaan itu, perempuan memang lemah secara fisik, pikiran maupun kepribadiannya. Lemah-lembut, perasa merupakan identitas fisik makhluk yang pingin dipuja itu. Tak, mengherankan jika perempuan dalam mempertahankan diri jarang menggunakan kekuatan fisik. Cukup dengan mengeluarkan air mata, menangis, lelaki akan bersimpuh, bertekuk lutut. Tak sedikit merengek meminta ampun, dan mengatakan “ Besuk tidak akan mengulagi”.
Perempuanlah orang pertama kali menangis, tatkala menyaksikan tragedi memilukan, keadaan memprihatinkan. Sekalipun air mata mengering, jika memang kemauan perempuan belum terselesaikan, tak kan pernah menghentikannya.
Peluang ini yang selalu, dimanfaatkan oleh lawan atau pasangan untuk meniadakan peluang perempuan untuk berekspresi, berpolitik, mengaktualisasikan kemampuan untuk kesejahteraan kaumnya. Tidak sedikip para laki-laki ( suami ) yang memanfaatkan keperkasaannya dengan meniadakan peluang perempuan menjadi makhluk yang mulia.
Surga nunut neraka katut.
Penghargaan terhadap perempuan tidaklah hasil keringat, usaha keras, hasil pemikiran makhluk cerdas melainkan bentuk hadih dari pasahan hidup. Benarkah perempuan tidak layak mendapatkan penghargaan karena hasil kerja dan pikiran cerdas? Atau sekadar, makhluk lemah yang perlu dikasihani? Bahkan hanya sebuah obyek, siap menerima perlakuan apa pun, oleh siapapun, tanpa batas, kapan dan dimana? Pasif, tak berdaya, diharuskan untuk menerima adanya.
Sebegitu besar bentuk pengekangan kreatifitas perempuan. Tak mengherankan jika opini yang terbangun semakin menguatkan tembok-tembok penghalang gerak perempuan. Semakin jauh panggang dari api, perempuan tak layak mendapatkan kemuliaan. Tatkala usaha keras, tidak menghasilkan pengakuan. Begitu sebaliknya, tatkala pasangan hidup ( suami )mendapatkan ketidakpastian karena ulah pribadi sendiri tanpa melibatkan perempuan, pasangan hidup (istri), perempuan siap menjadi penanggung jawab. Menyedihkan!
Maka tidak sedikit, laki-laki yang mamaknai, bahwa perempuan memang pantas untuk dieksploitasi. “ Istri-istri kamu seperti sawah (ladang) bagi kamu, maka tanamlah di sawah itu sebagaimana yang kamu inginkan “. (Al-Baqarah : 223). Sebegitu kuatkah kekuasaan laki-laki sebagai subyek dalam kesepakatan kolektif yang disaksikan oleh penghulu dalam merajut perkawinan. Sebegitu lemahkah perempuan?
Ya, perempuan memang sebagai obyek yang boleh di “ tanami “ menurut kemauan pasangan lain jenis. Tetapi jangan lupa Tuhan SWT, menghendaki laki-laki (Suami) menjadi petani yang baik. Berhak bercocok tanam di seluruh sawah yang dia miliki, di mana yang dia sukai, tak ada suatu larangan apa pun. Ia berhak melakukan sesuatu asal masih dalam lingkungan tanah sawah yang dia miliki itu.
Ya, tak jarang kekerasan rumah tangga yang terjadi akhir-akhir ini karena kesalahan pemaknaan terhadap tafsir. Bahkan kekerasan itu terjadi berangkat dari ketidak sepahaman sebagai kerja kolektif dengan berbagi Sepenggal, tanpa melihat sebab dan akibat dari beberapa wahyu
“Istri-istri yang kamu takuti kedurhakaan mereka, berilah nasehat, berpisahlah tidur kamu dari mereka, dan pukullah mereka itu “. ( An-Nisa’: 34) laki-laki dapat melakukan apa saja termasuk kekerasan fisik ( memukul). Apakah memang benar, laki-laki dapat melakukan hal itu?
Laki-laki pun lebih, berhak, atas harta yang diwariskan oleh kedua orang tuanya yang telah meninggal. “ Lidz-dzakri mitslu hazhzhil-untsayain ( QS An-Nisa’: 11). Anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.
Rasa keadilan memang sulit dipahami, dilogika dengan nalar yang tidak berkehendak baik. Semisal, anak kecil akan menangis manakala orang tua dianggap berlaku tidak adil karena memberikan uang lebih banyak terhadap kakaknya. Benar! Orang tua tidak adil, jika kita hanya melihat dari dari jumlah rupiah yang dibagikan.
Melihat konsep kehidupan keluarga sebagai konsepsi dari persetujuan kerja kolektif tidaklah bijak jika lelaki saja yang berhak atas segalanya. Tidaklah bijak pula jika Konsep Ekonomi keluarga tidak memberikan peluang perempuan untuk ikut bertanggung jawab atau berhak atas kehidupan bersama. Sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah,” Hak (nafkah) istri yang dapat ditermanya dari suaminya seimbang dengan kewajibannya terhadap suaminya itu dengan baik ( 228). Maka tidaklah tepat jika laki-laki semena-mena “ Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kamu mengambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan halal bagi kamu mencampuri mereka dengan kalimat Allah, dan diwajibkan atas kamu (suami) memberi nafkah dan pakaian kepada mereka (istri-istri) dengan cara yang sebaik-baiknya ( pantas)”. ( Riwayat uslim)
Ketergantungan perempuan (istri ) terhadap keberadaan suami memang tidak dapat dipungkiri. Tetapi juga sebaliknya, laki-laki pun butuh isteri. Simbiosis mutualisme, sayur tanpa garam, kurang lezat/nikmat jika salah satu unsure ada yang hilang.
Meski tidak sedikit, banyak, perempuan yang mampu mengambil alih peran laki-laki, pemaknaan persamaan gender hanya sebagai wacana. Perempuan sebagai subyek tak mampu menunjukkan keakuannya. Lihat saja, pemilihan anggota legeslasi di negeri ini. Meskipun jumlah perempuan lebih banyak, tak ada separoh jumlah anggota legislasi seluruhnya.
Siapa yang bertanggung-jawab? Pemerintahkan? Lelakikah! Mestinya tidak! Keberhasilan tidak datang dari mana-mana.
Terus! Bagaimana dengan pengakuan perempuan dalam rumah tangga oleh laki-laki? Perbedaan laki-laki dan perempuan hanya perbedaan biologis. Pandangan “menganaktirikan” perempuan yang sering dihubungkan dengan agama, maupun doktrin kultur. Agama dipandang telah memapankan “ ketimpangan” peran berdasarkan perbedaan jenis kelamin hanyalah tafsir yang salah. Ketimpangan itu perlu disikapi dengan kajian mendalam tentang kodrat perempuan dengan cermat.
Ya, perempuan tidak perlu dikasihani karena perempuan adalah makhluk yang punya potensi dan kemampuan. Perempuan memang kalah fisik tetapi tidak kalah kemampuan. Sejarah sudah membuktikan. Perempuan tidak perlu menangis, merengek karena itu hanya akan merendahkan perempuan sendiri. Tetapi, jangan lupa, Wadon nir Wadonira karana kaprabaweng slakarukmi”. Perempuan tidak boleh kehilangan kewanitaannya karena pengaruh perak dan emas. Dan, ”Wanita kuwi kudu anduweni suci ati, suci rupa, lan suci uni,” maka tak ada lagi tangis, ratapan perempuan. Tak kalah penting wanita harus berserikat dan berkumpul agar kuat. Keselamatan perempuan tidak cukup dengan terbitnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Talam Rumah Tangga”. Tidak cukup hanya membaca Al-Quran surat An-Nisa’ atau membaca kitab Injil, taurat, Zabur. Atau bahkan hanya menyanyikan kidung Rumekso Ing Wengi atau hanya bersuara lantang di televisi, radio, jalan-jalan raya, di laut, atau bahkan hadapan Pak Presiden. Perempuan tetap sering di nista.
Meski demikian Marsinah tetap menggugat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar